“KAPIA!!”
Aku mendengar teriakkan itu dengan jelas, ku cari dari mana sumbernya.
“Kapia!! Astaga, budek apa ya?”
Aku menoleh menuju tangga sekolah, dan akhirnya aku
menemukan suara yang terdengar nyaring tersebut. Aku pun berjalan menuju tangga, karena ada
yang sudah melambai-lambaikan tangan dengan tak sabar.
“Eh dasar, pinter sekarang ya. Udah berani menghina orang”,
Aku memamerkan wajah kesal padanya. Wajah kesal yang bukan berarti marah tetapi
wajah kesal dengan harapan mendapatkan balasan wajah manis darinya.
“Ya ampun, pagi-pagi udah merengut. Jangan ah”. Aku masih
diam saja saat Ia masih menceloteh kepadaku.
“Kapia, nih sweater hitamnya. Gimana ka?”.
“Manis kok”.
“AYEY! Tambah senyuman dong Kapia”, goda Oby padaku.
Sungguh, Aku tak tahan. Tingkah kekanak-kanakkannya membuatku gemas untuk
menarik kedua pipinya.
Ku turuti pintanya, dengan senyum ejekan, “Iya, sweaternya
manis. Mama Oby beliinnya dimana? Kapia mau satu dong”.
“Kapia emang jahat, ih”, tiba-tiba Oby melepaskan sweater
yang baru saja Ia bangga-banggakan. “Nih, manis kan sweaternya? Kapia boleh bawak aja dulu punya Oby”.
Oby hanya memberikan wajah sumringahnya padaku, sambil
menarik tanganku untuk memberikan sweaternya.
“Kapia, Oby mau berangkat Lomba nasional di Serpong. Biar Kapia
enggak kangen banget sama Oby, nih Oby pinjemin sweater”.
“Yee, baru aja setengah tahun di SMA udah berlagak nasional
segala”, ejekku padanya.
“Apa salahnya Do’ain Oby kek,
Kapia”.
Senyum tulusku tiba-tiba terpampang padanya, “Iya, semoga
bisa banggain kita semua ya. Percaya amat bakal Kapia kangenin, woo”.
“Pokoknya pegang aja dulu ya, minggu depan kita ketemu disini
lagi. Bubay Kapia!”
“Iya Oby, okey.
Oleh-oleh jangan lupa ya”, cengirku padanya yang membuat Oby melambaikan tangan. Aku membalasnya dengan pelan.
Singkat pertemuan, tetapi ada aja yang bakal dibahas sama
anak satu itu. Oby memang tipikal seorang yang pandai mencari bahan omongan. Walaupun
aku belum mengenalnya dengan akrab, tapi aku suka dengan sikapnya yang easy going pada setiap orang.
-------------
2016. Sungguh, resolusi yang ku buat sangat sama dengan tahun
lalu. Dengan kata diakhir resolusi “Jomblo tidak membatasimu untuk menggapai
cita-cita”. Itu quotes antara memang prinsip atau sekedar untuk membahagiakan
diri sendiri. Dan jawabannya , hanya akulah yang tahu.
Waktu sudah menunjukkan waktu sore, dan Aku belum juga
kembali ke rumah. Aku masih bersama teman-teman disekolah untuk menyelesaikan
persiapan acara. Iya, acara. Sudah pasti aku bakal bersama Dean. Keadaan agak
canggung, tapi tiba-tiba terpecah saat ada sebuah pertanyaan.
“Pia, apasih alasan cewek bisa suka sama seorang cowok?”,
aku langsung menatapnya keheranan, sambil menopang daguku dengan kedua tangan.
“Eh............ a. apa.. ya?”, wajar saja aku terbatah-batah. Aku bingung
dengan sikapnya.
“Kalau kata orang-orang, suka itu enggak ada alasannya sih. Tergantung
dari Dean lagi. Itu beneran suka atau cuma penasaran”.
Kelihatannya anak satu ini lagi galau gitu, pantes aja dari siang tadi muka lusuh gitu. Tapi agak
enggak lucu sih, dari diem melompong tiba-tiba langsung nyeletuk nanyain soal
suka-sukaan. Mungkin dia udah nggak tahan.
Iya, enggak tahan untuk ngomongin ke aku untuk berbagi
cerita. Ehe.
Dalam perbincangan kami yang serius itu, tiba-tiba muncul
notif bahwa ada yang menelpon. Aku menjawab dengan santai, tanpa ada permisi ke
Dean untuk menjawab telepon.
“Assalamualaikum, benar ini saudari Pia Henira?”, omong dari
suara telepon dengan pelan.
“Waalaikumsalam, eh apaan sih Glen?”
“Selamat, kamu mendapatkan undangan gratis untuk shalat ashar
berjamaah. Dianjurkan membawa seorang teman ke masjid depan sekolah agar
terhindar dari kata zina. Saya telah berada di masjid dan sedang menunggu
kedatangan anda”.
“Ya ampun, iya-iya bentar”.
Aku menutup telepon dari Glen, karena aku tahu dia pasti
sedang menunggu dan aku harus buru-buru ke masjid. Aku bingung harus mengajak
siapa, sedangkan sekarang di sekitarku tidak ada teman perempuan. Alhasil, aku
mengundangnya juga.Yaaa, siapa lagi kalau bukan Dean.
“Dean, ashar bentar yuk. Di masjid depan, biar cerahan dikit
tu muka. Kayak habis di siram minyak jelantah tu. Hehehe”
Dean pun berdiri dari duduknya, kami berangkat berbarengan.
“Buru-buru amat, Pi”.
“Ah enggak kok, biasa aja”.
“Baru dapat jackpot apaan? Seneng banget nampaknya”.
“Hust, kamu kan kepoan. Nanti juga bakal tahu sendiri”.
Sesampai di Masjid, aku mengirim pesan pada Glen bahwa aku
telah sampai dan segera mengambil wudhu. Aku menghadiri masjid yang hanya
dihadiri beberapa orang saja. Dean pun juga segera ke ruang wudhu.
Terdengar jelas suara yang tak asing di telingaku, suara yang
baru saja hadir di dalam otakku. Dilafadzkannya iqomah yang menandakan jamaah
untuk menegakkan shalat.
---
Waktu shalatku baru saja usai, aku keluar dari masjid dan
menuju kursi taman sekitar. Aku melihat seorang lelaki yang keluar dengan
kemeja dan celana jeans yang panjangnya tak melebihi mata kaki. Ia berbeda dari
yang dulu.
Dean telah selesai berdoa, Ia keluar dan segera ke kursi
taman untuk mengenakan sepatunya.
Kami bertiga berpapasan, aku tersenyum. Aku tak tahu harus
bahagia atau diam saja, sungguh aku salah tingkah. Glen menyalami Dean dengan
ramah. Dan akupun mati kutu kebingungan harus apa. Sudah lama aku tidak
berbicara pada Glen secara langsung selain via telepon.
“Oh, Hai Pia!”, sapanya padaku.
“Ini jackpotnya, Pi?”, tanya Dean blak-blakkan.
“Eh iya, temennya Pia ya? Kenalin, Glen. Teman Pia waktu SMP”.
Dean hanya mengangguk lalu membalas dengan senyum dan
berkata, “Dean”.
Glen dan Dean menatapku heran seakan butuh banyak kejelasan.
Terlihat jelas dari wajah mereka yang sedang bertanya-tanya dan ingin
membicarakan banyak hal padaku.
“Pia masih sibuk? Kalau enggak, aku tunggu 15 menit disini
ya. Kamu pasti laper kan? Sudah sore gini”.
“Pi, Bantu aku bentar nyusun kata-kata buat MC besok? Terserah
sih mau sekarang atau lewat line nanti malam”.
“Hmm”, Aku semakin dihujani rasa bingung. Dan akhirnya aku
memutuskan untuk pulang. “Hm Glen, nampaknya di sekolah masih butuh persiapan
dan nanti langsung pulang aja. Maaf ya Glen, lain kali aja. Oh iya, ntar malam
aja ya Dean susunan katanya”.
Aku dan Dean kembali ke sekolah, aku menatap Glen dengan tak
tega. Dan Dean masih jalan terus meninggalkan aku dibelakangnya.
Sesampainya di sekolah, Aku dan Dean masih bungkam tanpa
suara.
“Hoy kalian, udah beres nih. Udah boleh pulang, lagian juga
udah sore!”, sahut ketua organisasi kepada kami berdua.
Kami berdua pun jalan menuju ruang organisasi, untuk bersiap
pulang.
“Pi, pamit ya”, ucap Dean berpamitan padaku.
“Iya, aku juga ya. Hati-hati”.
---
Malam telah tiba, aku mengirimkan semua susunan kata-kata pada
Dean. Dan Dean hanya membalas singkat apa adanya.
Ku cek pulsa yang ku punya dan ternyata tidak ada sama sekali, sambil
mengantuk aku menunggu telepon. Iya, Glen kemana?. Tumben Dia tidak muncul.
---
Matahari sudah memaparkan sinarnya, dan kulihat gadget. Ternyata,
zonk. Batin hanya berkata, “Makanya Pia, jangan berharap. Ya mau digimanain
lagi”.
"Prinsip resolusi 2016 jangan dilupain dong Pia. Yok semangat sekolah!", tambah omongku dalam hati.