Sabtu, 21 Oktober 2017

Hi

“Bukan mengenai kesibukannya. Jika kau memang prioritasnya, ia pasti menghubungimu.”

Aku begitu ingin menghubunginya dan menjadikannya prioritas. Aku begitu ingin mengikat janji padanya. Aku begitu ingin selalu bercerita panjang dengannya, tak hanya saat bertemu dengannya. Berbagi cerita tentang apa yang tak ku tahu tentangnya.

Aku begitu ingin selalu menatap matanya, baik saat ia butuh semangat maupun tidak. Aku begitu menyukai saat hanya menatap matanya yang seakan berbicara bahwa ia nyaman berada di dekatku. Aku begitu menyukai gesture tubuhnya yang lembut dan tak ingin menyakiti, walaupun sesekali ia berbuat jahil tapi sesungguhnya ia tak ingin membuatku merasa risih.

Namun, aku takut. Aku takut hanya diriku lah yang jatuh cinta disini.

Sudah sejak lama aku tidak merasakannya, tapi ia begitu manis sehingga mencuri perhatian.
Aku tahu, aku tidak sebaik mereka.

Melihat perlakuannya, ia juga masih ragu-ragu tentang lingkungan sekitarnya. Ia masih menerka apakah keberadaanku pantas berada di hidupnya. Jika ia masih saja beranjak apakah aku begitu terburu-buru dalam mengambil keputusan?

“Just make a promises and commitment, don’t push to have a romance. Just be mature and grow together.”

Iya, aku sedang di titik dimana aku hanya ingin tumbuh bersama seseorang. Aku sedang di titik ingin merasakan dewasa bersama, menjalani hidup bersama dengan rutinitas kehidupan seperti biasa. Aku tahu, ini begitu sulit. Tapi entah mengapa aku berani memandang hal ini bersamanya, aku seakan memberanikan diri untuk tidak mengusiknya tapi berusaha selalu mendoakan dan mendukungnya.
Ah, lagi-lagi harus merasakan cinta dalam diam.

Jika memang ini menjadi cinta dalam diam untuk kesekian kalinya,  berarti aku masih berada di titik yang sama seperti dulu. Apa aku masih sama seperti yang dulu? Masih diam namun mengharapkan seseorang? Kelihatannya begitu. Jika memang begitu kenyataannya, ia menjadi salah satu bahanku untuk belajar menjadi lebih baik (lagi).

Percayalah, aku begitu lelah dengan ikatan yang bisa mengekang. Maka jika dia benar-benar telah menganggap diriku ada, aku hanya bisa selalu mendukungnya dan menceritakan apa yang terjadi di hidupku padanya. Jika memang mengharuskan harus berubah, mungkin aku menahan diriku sebentar dan berpikir kembali. Namun kelihatannya aku tak akan berhenti jika dia sudah ada denganku, karena aku akan selalu mengingat hal apa yang membuatnnya berhasil aku harapkan.


“Hi you, I’m in love. But I’m afraid to tell about u.”

Minggu, 07 Agustus 2016

Prolog: Semangat Pagi (Prinsip Pia #1)

Suara itu sudah biasa hadir di pagi hariku, tetapi tetap saja aku masih enggan untuk mendengarnya.
Rasanya, aku belum siap berpisah dengan kesayanganku ini. Aku tahu Dia hanya mengingatkanku untuk beraktifitas, bukan bermaksud cemburu pada kesayanganku ini.

Setiap pagiku itu serasa cinta segitiga yang selalu berkait. Aku masih terlalu menyayangi kasur, tetapi Alarm begitu menyayangiku karena Ia mengingatkanku untuk mulai menjalani hidup.

“Huuuuhhhh.. Sabar Alarm, 5 menit lagi deh”, gumamku sambil menunda waktu bangunku.
Otakku belum berkoordinasi dengan baik, tetapi si otak ini berhasil membuat mataku penasaran akan satu hal.

“ASTAGA!! Udah jam 6 pagi gini”, Akupun langsung bergegas meninggalkan kasur dan beranjak ke kamar mandi. Sembari diperjalanan mengambil handuk, Aku menemukan Kakakku sedang menyiapkan sarapan.
“KAKAK! Kenapa enggak bangunin Pia sih?! Liat tuh udah jam berapa. Bisa telat ntar nih”, Omelku di Senin pagi ini pasti berhasil membuat sarapanku berasa asin nantinya. “Lah, Kakak kira Kamu bakal stay sama si kasur. Wong Kamu tidur sambil senyum-senyum gitu, jadi enggak tega untuk banguninnya”, sahut Kakakku sambil kebingungan akan tingkahku.

Aku begitu tak habis pikir, mandi cebar-cebur ala bebek akhirnya terjadi pagi ini. Mengambil dan mengenakan baju dengan cepat seperti ngeburu baju diskon 50%+70% juga terjadi di pagi ini. Pikiranku penuh akan tanya mengenai kenapa Aku bisa tidur senyam-senyum, mimpi aja kagak.

Ah, sudahlah. Ayo siap-siap berangkat sekolah.

“Kak, Pia berangkat dulu ya!”.

“Bismillah, semoga sampai tujuan dengan selamat”, Ku kendarai motorku ini dengan buru-buru tetapi berharap keselamatan penuh.

Aku benar-benar tidak bisa diam, ada saja yang Aku komentari selama perjalanan berangkat sekolah ini.
“Astaga, rame banget sih”.
“Macetnya enggak ketulungan. Mungkin gara-gara hari Senin ya?”.
“Astaghfirullah, pakai lampu seinnya kek Pak”.
“Ini lagi, masih anak sekolahan enggak pakai helm”.
“Woy, astaga. Aku yang udah berasa mau telat gini aja enggak nerobos lampu merah”.
Ini mata benar-benar ada aja yang diliat kelihatannya. Mulut juga, ada aja yang diocehin. Selama 15 menit perjalanan, hampir selama itu pula Aku bisa ngoceh sendiri diperjalanan. Aku sengaja mengoceh biar tidak merasa sepi, iya biar enggak kesepian. Miris? Ah enggak kok, hahaha.

Perjalanan 15 menitku akhirnya terhenti juga di sekolah. Kelihatannya para petugas upacara udah pada bersiap, yang secara tersirat nunjukkin kalau Aku udah telat saat tiba di sekolah.

Ayo Pia, keluar dari zona nyaman!

Pia semangat belajarnya. Siapin topi, mari kita upacara.

“Kamu harus yakin kalau semua harus dimulai dari diri Kamu sendiri, ya Pia. Karena suatu saat pasti bakal ada yang ngelakuin hal yang udah kamu lakuin sekarang ini. Iya, suatu saat kamu tidak akan menyemangati dirimu sendiri, pasti akan ada seseorang yang akan menyemangati dirinya sendiri dan dirimu juga”. Batinku berbisik dengan semangat saat berbaris selama upacara bendera.


“Pi, kenapa ngelamun sambil senyum sendiri? Ngehayati upacara?”.

Selasa, 02 Agustus 2016

Epilog: Semua Bahagia (Sok Prinsip V)

Masa sekolahku benar-benar menjalani kenaikkan yang pesat. Semua benar-benar sesuai harapanku. Memang tidak ada salahnya jika kita berharap kebaikan, karena harapan itu pasti akan datang jika kita telah bersiap akan kekecewaan. Wih, puitis si Pia.

Mau bahas siapa hayo? Glen? Dean? Rei? Atau si Oby? Banyak banget ya?
Huwa, capek banget kalau harus bahas mereka satu-satu. Tapi kadang, tanpa mereka enggak bakal ada cerita ini, ya kan?

Singkat cerita aja sama mereka, ya. Si Glen sekarang Alhamdulillah udah bahagia sama yang baru, kita doakan saja dia berjodoh kali ini. Ya kalau dia balik lagi ke aku, paling butuh temen cerita? Kayak waktu itu deh ya. Sumpah, enggak ada niatan Pia untuk buat ending maksa gini dengan si Glen L. Glen really-really happy sekarang, Pia enggak berani ganggu dia sama sekali. Banding obrolan kami tidak sepanjang dahulu? Lebih baik Pia mengalah dan meninggalkan. Sok meninggalkan kan ya? Padahal Pia yang ditinggalin. Miris sih, tapi udah biasa. Eh alah. *Kesel sendiri*

Si Dean, Alhamdulillah bahagia bersama gebetannya. Jadi dia enggak perlu mengusik kehidupan Pia lagi, ya walaupun sebanarnya Pia yang sering mengusik si Dean. Siapa sih yang enggak mau sama Dean? Cowok famous di sekolah, prestasi yang patut disyukuri, asik pula. Lah, jadi bangga-banggain Dean. Pia benar-benar bahagia kalau anak satu ini udah jadian sama gebetannya. Iya, Pia juga enggak ada maksud mengakhiri dengan maksa gini L. Dean, makasih udah maafin semua kesalahan Pia. I know, u're a nice boy for her.

Rei kasusnya sama kayak si Dean, ya. Seperti yang udah Pia ceritain, Pia dan Rei enggak terlalu dekat. Jadi pembahasan kami memang tidak lebih dari bercanda. Asik nggak sih? Punya teman yang dicandain gitu tapi enggak baper? Asik dong. Makanya Pia bisa akrab sama si Rei.

Oby? Duh ni anak, benar-benar sibuk. Udah kelar di Serpong sekarang ikut lomba lagi di Provinsi. Prestasi dia untuk sekolah gila-gilaan banget. Pia dan Oby akhir-akhir ini lancar komunikasi. Saling tanya gimana lombanya, dan menunggu kabar baik dari hasil lombanya. Oby ini tipikal yang enggak pernah merasa puas dan masih aja mencari kesibukkan agar ada kebahagiaan sendiri. Soalnya, Oby ini lagi LDR gitu sama ceweknya. Jadi, ya sama Pia Cuma jadi kakak adek zone gitu. Asik enggak sih punya adik berprestasi? Ya asik dong.

Bahas ke-empatnya kelihatannya bahagia gitu ya. Hohoho. Lu kapan bahagianya, Pia? Astaga hanya Tuhan yang tahu jawabannya. Udah ada kehadiran mereka berempat aja aku udah bahagia kok, percayalah. Kalau mereka pergi, ya enggak masalah. Pasti ntar ada yang datang lagi.....
Nih ya, kamu harus percaya bahwa bakal ada yang akan datang jika ada yang akan pergi.So, manusia itu sebenarnya bersiklus. Kita aja kadang yang tidak menyadarinya dan mencoba berpaling dari siklus untuk membuat sesuatu menjadi linear. 

Mungkin ini bisa jadi epilog untuk sok prinsip dulu ya, danbakal ada chapter dimana judulnya bukan lagi “Sok Prinsip”. 

Pia masih punya stok cerita kebahagiaan dengan yang lainnya kok, yang pasti bakal asik banget kalau diceritain. Ya semoga orangnya engga salah tingkah kalau udah diceritain sama Pia disini. Hahaha
See ya~

Kamis, 28 Juli 2016

Lomba Menulis Artikel Kependudukan Prov. Jambi 2016



Topik : Menikah Tanpa Rencana Akan Menuai Bencana
Judul : Menghalau Bencana Dengan Rencana
Nama Penulis : Yayi Gamma Maribonawati
No. Peserta : 30

Pasangan muda kini telah banyak dijumpai di lingkungan kita, dimulai dari yang telah menikah ataupun yang belum. Anak muda mana yang tak paham akan pacaran? Mungkin ada beberapa yang mengira berpacaran adalah hal yang keren dan begitu didambakan. Membahas mengenai pacaran dapat bersangkut paut dengan menikah. Menikah itu sendiri dibedakan pula dari yang terencana atau yang tidak terencana.
Menikah merupakan suatu ikatan perkawinan yang telah melewati proses hukum dan agama yang berlaku. Sekarang ini, banyak dari remaja melakukan suatu tindakan pacaran yang hanya untuk kesenangan dunia sesaat. Dari hal berpacaran ini pula dapat menimbulkan suatu bencana, banyak diantaranya seperti menikah karena suatu permasalahan atau Married By Accident. Hal tersebut tentu dikarenakan tak ada rencana mengenai suatu hubungan pasangan untuk masa depan mereka.
Pernikahan tanpa perencanaan telah dianggap keluarga maupun pemerintah sebagai tindakan yang seharusnya tak dilakukan, karena suatu pernikahan yang tidak direncanakan dapat menimbulkan masalah kependudukan dan kesejahteraan di lingkungan tersebut.
Perencanaan sangat dibutuhkan bagi para pasangan yang akan melanjutkan hubungannya. Keuntungan yang didapat dari perencanaan sungguh luar biasa, diantaranya seperti; dapat menata kehidupan berkeluarga yang harmonis, siap dan telah mapan dalam berkeluarga, menghambat angka kelahiran dengan bijak, mengurangi suatu tindakan dosa pada agama, serta dapat menunjang kehidupan pribadi dan keluarga dengan baik.
Seperti yang telah dituliskan bahwa pernikahan tanpa perencanaan akan menimbulkan masalah. Masalah-masalah yang terjadi, diantaranya :
1.      Tidak ada persiapan untuk masa depan
Persiapan yang dilakukan beberapa pasangan yang menikah tanpa rencana mungkin hanya sebatas saat mereka memiliki satu sampai dua anak, dan memberatkan tulang punggung kepada seorang Ayah saja. Bahkan beberapa pasangan masih memanfaatkan perekonomiannya dari orang tua masing-masing.
2.      Tidak mampu menghadapi dunia kerja
Seorang pasangan yang menikah tanpa rencana, biasanya ditandai dengan sikap psikologis yang tergolong egois. Dimana sikap tersebut tidak menunjukkan kedewasaaan. Seorang pekerja sudah pasti bersikap dewasa dan dapat membagi waktunya sehingga berjalan dengan baik.
3.      Dapat menurunkan Sumber Daya Manusia yang produktif
Biasanya pasangan yang tak memiliki rencana akan sulit mengatur pola kehidupan mereka. Kebanyakan dari mereka, menitik beratkan masalah perekonomian kepada sang Ayah. Beberapa Ibu mungkin ada yang menjadi Ibu rumah tangga ataupun industri rumah tangga yang seadanya. Pasangan yang seperti ini bisa dikatakan tidak begitu produktif karena hanya salah satu yang berkesinambungan dengan dunia kerja.
4.      Meningkatnya angka kelahiran
Banyak pasangan yang tidak merencanakan harus memiliki anak berapa pada keluarga mereka. Diantara mereka biasanya masih ada yang “keblabasan” dalam kehamilan. Hal tersebut ditandai dengan kurangnya kesadaran akan program Keluarga Berencana yang dapat mengatur jumlah keluarga menjadi lebih baik dan dapat menyongsong kependudukan yang lebih baik pula.
5.      Meningkatkan tindakan kriminal
Jika pasangan muda tidak memiliki rencana dan kekurangan perekonomian, hal tersebut dapat menimbulkan masalah kriminal pada masyarakat. Pencopetan misalnya, hal ini biasa yang ditemukan jika seorang kekurangan ekonomi. Selain itu, tindakan yang bisa saja terjadi seperti pembunuhan. Semisalnya, saat pasangan tidak memiliki rencana pernikahan akan lebih mudah mengalami kejenuhan dan rasa emosi. Maka  dari itu, menimbulkan keadaan keluarga yang tidak harmonis.
Keluarga yang harmonis dapat membuat suatu keturunan yang bermanfaat bagi bangsa. Kualitas keturunan menjadi latar belakang kemajuan bangsa di era global sekarang. Keturunan yang baik juga dapat dijadikan aset utama sebagai manusia yang produktif di dunia kerja di masa mendatangnya.
Maka dari itu pernikahan yang terencana sudah pasti harus siap dan memiliki pasokan perekonomian yang baik. Jika suatu pasangan tidak memiliki perekonomian yang baik akan menurunnya kualitas penduduk di Indonesia. Walaupun pendidikan sudah menjadi wajib 12 tahun, tetapi jika tidak memiliki perekomian bagaimana mereka membeli alat tulis untuk anaknya? Hal ini menjadi permasalahan pula pada pendidikan Indonesia.
Selain perekonomian, sikap pasangan harus sama-sama matang dalam psikologisnya, yang dapat mengatur apa yang harus mereka lakukan di masa mendatang kelak. Kematangan psikologis dapat juga menjadikan masyarakat sebagai makhluk sosial yang berguna.
Pernikahan tanpa rencana benar-benar menimbulkan bencana. Bagaimana tidak? Satu saja permasalahan yang mereka dapati, dapat memunculkan permasalahan lainnya yang tak hanya merugikan kehidupan berkeluarga mereka tetapi juga negara yang menampung mereka. Bisa saja mereka memecahkan satu masalah, tetapi malah menjadi mati satu tumbuh lagi seribu. Hal ini dapat dikatakan bahwa masalah akan terus-terusan terjadi jika kita tidak membuat rencana. Jangan jadikan bencana tersebut seperti sampah yang mengalir di sungai-sungai Jakarta. Beranilah membuat rencana untuk mengantisipasi pernikahan yang berakibat buruk. Jika telah terlanjur, ada baiknya menata ulang kehidupan berkeluarga dari bidang keagamaan, sosial, budaya dan bidang lainnya.
Pada zaman yang telah modern kini, masih juga kurang pemahaman masyarakat untuk membuat keluarga yang terencana.  Pemerintah sudah seharusnya menggelar sosialiasi mengenai Keluarga Berencana sehingga membangun keluarga yang baik dan menguntungkan negara. Selain itu, pemerintah juga harus mengadakan sosialiasi mengenai generasi muda yang bermanfaat bagi negara. Kebanyakan masalah menikah tanpa rencana disebabkan para remaja yang mengalami kehamilan diluar nikah. Sehingga, tujuan pemerintah tidak hanya kepada yang telah berkeluarga, tetapi juga kepada remaja khususnya para pelajar maupun mahasiswa.
Sebagai generasi muda, kita sudah sepatutnya merencanakan semuanya dengan baik untuk masa mendatang. Dimulai dari sekolah, melanjutkan ke perguruan tinggi, kemudian ke pekerjaan sesuai keahlian. Setelah itu, ke jenjang pernikahan yang direncanakan ideal dalam berkeluarga.
Mengenai berpacaran, sudah pasti dapat berkaitan dengan pernikahan. Banyak diantara anak muda sekarang yang menyakini pasangannya menjadi keluarganya di masa depan kelak. Tidak ada salahnya berpacaran jika masih dilingkung positif, yang menjadi masalah jika dilingkung negatif sehingga terjadi suatu hal yang tak direncanakan. Tetapi lebih baik jika kita generasi muda mempersiapkan diri menjadi individu yang berguna dan produktif bagi lingkungan maupun negara kita.
Bagi pasangan muda yang belum terikat dalam pernikahan, alangkah baiknya untuk menjaga keharmonisan dan mulailah merencanakan kedepannya jika ingin lebih serius. Karena keseriusan mereka tidak hanya berdampak pada mereka berdua, tetapi juga negara yang menerima keuntungan mengenai penduduk yang masih terbilang produktif dan menjalani program kepemerintahan dengan baik.
            Sesuatu yang disebar pasti akan diterima hasilnya, tindakan yang diberikan sekarang pasti berpengaruh untuk kedepannya. Pemerintah harus meningkatkan kepedulian masyarakat yang belum merencanakan pernikahannya dengan baik. Seperti memperlihatkan dampak negatif apa saja yang akan dirasakan jika tidak memiliki rencana. Dampak negatif ini memiliki keterkaitan kepada segala masalah di masing-masing bidang. Negara mana yang ingin memiliki penduduk dengan banyak permasalahan? Pasti tidak ada. Permasalahan yang dihadapi itupun, banyak yang masih belum terselesaikan dengan baik.
            Sebagai warga negara yang telah lebih dulu paham mengenai perencanaan pernikahan, mulailah untuk menata kehidupan dengan baik lalu memberikan pengetahuan kepada masyarakat yang kurang memahaminya. Menyortir dan memilah hal yang perlu untuk menyongsong kependudukan yang tertata rapi. Kependudukan kini mulai menjadi permasalahan yang dipandang, karena telah banyak diwacanakan bahwa Indonesia akan mendapatkan bonus demografis dalam beberapa puluh tahun mendatang. Jika kita menuai masalah mengenai tak berencananya pernikahan, kita bisa saja menjadi penghambat bonus demografis di Indonesia kelak, atau bahkan menuai masalah kependudukan di Indonesia.

Kamis, 07 Juli 2016

Senjaku

Hallo!
Belakangan ini, aku begitu menyukai sebuah lagu yang menurutku begitu indah maknanya. Kosa katanya terbilang sederhana, tetapi bagi seorang yang mengalami kejadian seperti di lagu pasti bisa begitu menyukainya.
Lullaby karya Lateeya, iya lagu tidur. Sebenarnya cocok untuk siapa aja di beberapa lirik, tetapi ni lagu lebih cocok untuk orang yang LDR.
Lah, aku suka lagu untuk pasangan LDR? Aku lagi LDR-an? Engga kok. Hanya saja, aku begitu merindukan senja.
Iya, aku engga bakal jauh-jauh dari kata rindu. Rindu bener-bener indah kalau udah dibahas, Ia bisa menjadi tekanan, sumber kabahagiaan, sumber inspirasi dan pandangan orang selalu berbeda-beda terhadap rindu. Hebat kan? Beruntung kamu yang namanya rindu.
Senja saat itu, aku memerhatikan kerapian yang disiapkan semua orang dirumah. Siapa yang akan mereka sambut? Seperti apa orangnya? Halah, paling mas-mas kenalan Ibu yang cuma mampir sebentar numpang maghriban terus pamit deh. Iya, Ibu selalu memiliki segudang kenalannya. Dimulai tua sampai muda, kontak Hpnya sangat beragam. Tidak jarang banyak orang yang mampir kerumah hanya karena rasa penasaran dimana tempat tinggal Ibuku. Ibu populer? Ah engga, masih banyak Ibu-Ibu gaul lainnya.
Ntah alasan apa yang ada dipikiranku, akupun juga mempersiapkan diri dikala puasa itu. Boro-boro mau tampil cantik, anaknya yang udah mandi sore waktu bulan puasa gini udah berhasil buat ibunya begitu kaget. Disaat aku memperhatikan senja, Aku mendengar ucapan nama seseorang yang disebut beberapa kali, aku tak begitu penasaran bagaimana orangnya yang mereka bahas. Toh, aku belum mengenalnya.
Senjaku sebentar lagi akan berubah menuju kegelapan yang hanya disinari oleh sang bulan. Sekian lama aku menunggu kehadiran bulan, aku bisa merasakan bahwa bulan kini akan berbuat manis pada senjaku. Seakan bulan itu menjemput senja pulang dengan tenang dan bulan menghantarkan seseorang yang telah dinanti. Bulan benar-benar menghantarkan orang ini, kusambut Ia dengan terkesima karena terangnya anugrah yang telah diberikan bulan saat itu.
Dia datang. Siapa?
Aku bahkan diperintahkan untuk mengobrol dengannya. Aku harus apa?
Pembicaraan umum? Aku tak ingin terlihat begitu membosankan dihadapannya.
Pembicaraan humor? Aku tak ingin terlihat jayus dan sok asik didepannya.
Alhasil, kita menanyakan satu sama lain apa yang sedang terjadi sekarang dan apa yang membawanya kemari.
Tak tau harus terkesan apa, tapi memang ia berhasil membuatku terkesima.
Ah, sudahlah. Mana ada cinta pada pandangan pertama.
Setelah membahas lumayan banyak hal, aku menemukan begitu banyak perbedaan diantara kami.
Kan, sudah kubilang. Cinta pada pandangan pertama tuh engga ada, ditambah banyak perbedaan gini. Ya mana bisa nyatu.
Kau tau? Aku paling tidak bisa berbuat normal jika ada seorang yang memulai sesuatu terhadapku.
Dan kali ini, dia memulainya. Harus apa aku?
Ah beruntungnya kau, dibangga-banggakan ibuku, serta berhasil menarik perhatianku. Sungguh, aku sebenarnya tak berencana menceritakan semuanya begitu mendetail seperti ini. Tapi, siapa sangka aku tak bisa menahannya. Jariku yang berkoordinasi dengan otak begitu lancar saat menulis tentang kau.
Halah bocah, lebay banget sih dek. Mungkin itu yang akan kau bisik dalam hati.
Iya, terserah.
Kau tau? Aku berusaha tidak ingin mencari tau tentang kau.
Kau tau? Aku berusaha untuk tidak mengharapkan kehadiranmu didalam setiap obrolan malamku.
Kau tau? Aku berusaha untuk tidak membicarakanmu kepada para sahabatku.
Dan asal kau tau, ketika kau ada dicerita ini. Kau berhasil menjadi salah satu bagian hidupku yang pantas diketahui orang awam.
Aku takut, aku takut jika ini hanya dipihakku saja.
Astaga, aku benar-benar tak sanggup mengatakan dan memikirkannya.
Mungkin, ada baiknya aku tak begitu cepat merasakannya dikala pertemuan itu.
Tapi, aku sungguh tak ingin melepasnya.
Aku benar-benar takut ketika aku terburu-buru kemudian aku akan lebih cepat merasakan bosan. Setelah itu, kau malah pergi dan kala itu aku merasakannya. Iya, terlambat. Aku tak ingin itu terulang lagi.
Ya sudah, aku tak ingin terlalu mengharapkanmu. Tapi aku siap untuk kecewa. Iya, aku janji tidak bakal merengek ketika bercerita tentangmu lagi kepada sahabatku jika kau tak menginginkanku.
Iya, aku janji akan tetap tertawa dikala kita tetap berbincang seperti biasa saat pertama bertemu.
Senja, aku siap selalu menunggu dikala waktu hadirmu.
Senja, aku siap selalu menunggu keindahan apa yang akan kau berikan padaku.
Senja, tetaplah indah. Walaupun kau hanya hadir sementara waktu.

Senja, tetaplah bahagia dijemput oleh bulan. Walaupun bulan takkan sering menghantarkan seorang sepertinya.

Jumat, 08 April 2016

Yayi Menyapa #ceileh


 Hello readers, ya ampun sebelumnya aku belum pernah nyapa para readers aku yang sudah pasti hanya beberapa yang sering mengunjungii blogku. Bahkan aku sendiri masih terbilang jarang, huhuhuL
Aku mohon maaf karena udah lewat dari sebulan enggak update “cerbung Sok Prinsip”. Iya terkadang moodku enggak terbilang baik, dan terkadang aku begitu males berduaan dengan komputer maupun laptop. Tapi sekali aku ngerjain tugas, eh malah nyasar ke blog dan nulis cerita.
Otomatis bisa disimpulkan bahwa tugasku kali ini enggak terlibat dengan komputer.
Aku mau klarifikasi, mungkin sebagian teman dekatku pasti bilang kalau cerita ini kayak curhatan dan mengenal setiap karakter di cerbung ini.
Sebenarnya sifat-sifat dari setiap karakter disini, aku memang terinspirasi dari mereka. Bagi yang kenal mereka, diem diem aja ya. Hihihi. Aku bakal jawab siapa orangnya kalau kalian nanya dengan alasan yang menarik, tapi nggak bakal aku jawab kalau nanya dengan alasan klasik dan sambil tebak-tebakkan.
Masalah tempat dan waktu, aku menggunakan kegiatan aku sehari-hari. Karena wawasan aku untuk buat cerita belum terlalu luas dan hanya menyesuaikan oleh writer aja lah ya. Asik, writer. Sok banget dah.
Oh iya, bagi yang terlibat menjadi inspirasi aku di cerita ini. Akan ada saatnya aku berkata jujur dan memohon pada kalian untuk enggak tertawa karena bisa dibilang karakter kalian aku buat agak hiperbol, hoho.
Doain aja yayi lebih rajin nulis ya, karena kadang ada terbesit rasa iri dengan salah satu sahabat aku yang bisa buat novel dan ditarik sama penerbit. Aaaahh iri. Oke yayi curhat.
And stay terus ya dengan cerbung sok prinsip. Kalau memang bisa dikembangin, mungkin bisa aja kalau aku rajin malah dijadikan novel #plak #yayisokrajin. Sok prinsip memang dikenalkan dengan banyak karakter, karena ya masa remaja pasti dimana masa kita lagi mulai mencari orang-orang yang pas. Butuh komentar juga sih, bisa personal chat aja ke aku mungkin yaa. Siapa karakter yang kalian tunggu kehadirannya, wohoo.
Kenapa yayi bilang personal chat? Ya karena pembaca blog ini Cuma temen-temen deket aku L. Berharap sih ni blog bakal berkembang, aamiin.
Mungkin ini aja ya sapaan dari aku kali ini, semoga kita sering-sering sapaan #eh.
Dan, yayi bakal semangat kalau kalian yang membaca cerbung ini selalu nagih kisah selanjutnya, biar makin semangat getooh. (Read : Tiada yang menyemangati)
Bubay!

Berharap kebaikan (Sok Prinsip IV)


Sudah lebih dari tiga hari aku tidak berkomunikasi dengan Glen, beruntungnya aku juga sedang disibukkan dengan pekerjaan rumah dari para guru dan kesibukkan dari acara sekolah. Aku memutuskan untuk mengisi pulsa. Ya siapa tahu iseng-iseng berhadiah, kan. Selama pelajaran di sekolah, aku begitu tak sabaran untuk pulang dan segera menelpon Glen. Aku dan Dean kembali seperti semula, masih menjadi rekan yang baik.
 Alhamdulillah, syukurku dalam batin. Aku tak perlu parno lagi kalau Dean bakal banyak tanya kepadaku mengenai Glen. Lagian apa hubungannya Dean sama Glen? Aku saja yang terlalu banyak berpikir aneh.
Si adik yang di Serpong juga sedang tidak kabar, bagaimana Ia menjalani masa lombanya. Yeah, Pia dilanda kebosanan karena tidak ada teman obrol via Handphone.
***
“Pelajaran hari ini telah berakhir”, bunyi bel tanda pulang sekolah yang bunyinya terkadang samar-samar di daerah kelasku. Akhirnya pulaang, yeeey.
Kebetulan aku sedang tidak berkegiatan, jadi langsung saja dengan semangat 45 otw pulang. Setibanya dirumah, aku harus kembali menunggu hingga waktu pukul 4 sore. Karena yang aku tahu, sekolah Glen pulang lebih lama dari sekolahku.
***
Adzan ashar telah selesai dikumandangkan muadzin, aku segera menunaikan ibadah dan berharap kebaikan dari Sang Pencipta. Setelah menunaikan ibadah, aku langsung beranjak ke kasur dan mengambil gadget. Ku tekan tombol telepon berwarna hijau dan memilih kontak yang dari tadi ku tunggu suaranya.
“Tuutt… Tutt.. Tuttt”, suara itu terdengar berkali-kali. Yang kutunggu belum juga menjawab.
“Halo?”, terdengar jelas suara seorang lelaki di telingaku.
Sontak aku langsung mengambil posisi duduk dan menjawab, “Glen?”. Aku memastikan kebenaran apakah yang menjawab itu Glen atau bukan.
“Iya Pia? Ada apa?”, astaga. Ternyata benar Glen.
“Ah engga, kamu apa kabar?”, pertanyaan klasik banget sih Pia. Kayak nggak pernah ngobrol dengan cowok aja, pfft.
“Alhamdulillah baik kok, Pia aku pamit dulu ya. Ada janji sama teman mau jogging”
Ya ampun, kelihatannya emang nggak bisa dikangenin yah ni anak. “Yaudah, Assalamualaikum”.
Percakapan kami begitu singkat, tidak seperti penantianku terhadapnya. Lantas aku langsung berpikir bahwa Glen mungkin sudah terlanjur kecewa dengan sikapku. Tapi, aku masih fine dengan sikapnya asal Ia tak berubah seperti dulu lagi.
***
Aku kembali ke sekolah kesayanganku ini, walaupun disayang tapi tetap aja ada yang buat kecewa. Aku begitu rajin di hari ini, aku juga tak tahu apa alasanku bertindak seperti ini. Kulihat cuaca sedang berawan, mungkin nanti siang bakal hujan.
Saat tiba diparkiran aku berpas-pasan dengan teman kelas tetangga, kami mengobrol tentang mata pelajaran apa yang kelas mereka pelajari nanti. Ntah mengapa obrolan itu berasa panjang dari parkiran hingga kelas, apa iya kelasku begitu jauh? Atau kaminya yang berjala teramat pelan sampai-sampai kami membahas PR dan ulangan. Huft, akhirnya tiba di kelas, kami pun berpisah.
Mungkin aku belum terlalu mengenalnya, aku tidak tahu sikap buruknya jadi selalu saja positif dan nyambung berbicara dengannya.
***
Hari-hariku kini sering dijumpai dengan seorang tetangga kelasku itu, aku sengaja belum memperkenalkannya pada kalian karena ya…. Aku takut ngecewain kalian, huhuhuhuhu. Nanti aku malah kalian judge karena dibilang nggak konsisten, aahhh nggak mau. Kalau mau marahin aku, kayak si Jey  aja ya. Walaupun Pia sering nggak konsisten terus dicerewetin Jey tapi tetap disayang Jey *Lah jadi curhat*.
Kita certain dia dari penampakkanku saja ya.
Dia orangnya baik, ramah dan terbilang pintar serta sederhana.
Bukan dengan rupa fisik yang sempurna tetapi memiliki daya pikat sendiri di salah satu bidang. Berbicara padanya bisa menyambung kemana saja, mungkin karena kami berdua cerewet.
Sampai suatu ketika di kantin saat jam istirahat, aku duduk diantara teman-temannya. Kami mengobrolkan tentang keadaan kelas masing-masing. Tapi tiba-tiba pembahasan malah menjadi masa lalu, karena aku memancing di awal. Iya, Pia suka mancing terus dilepasin ikannya ke habitat aslinya.
“Rei, mantannya siapa sih? Pernah denger kalau engga salah…”
Omonganku langsung dipotong dengan Vino, “Si Weni tuh mantannya, Pia enggak tahu?”. Aku langsung menggeleng dengan pertanyaannya si Vino.
“Wih, sumpah? Kok bisa jadi mantan sih Rei? Duh sayang banget”.
“Emang kenapa?”, Tanya Rei kembali memancingku.
“Ya kalau besok sama Pia jangan jadi mantan, Okay Rei?”.
“Kalau Rei tembak sekarang berarti kita nggak bakal jadi mantan ya?”
Eh… kena gigit ikan si Pia.  

Kamis, 28 Januari 2016

Tiba-tiba semua mencoba pergi (Sok Prinsip III)

“KAPIA!!”
Aku mendengar teriakkan itu dengan jelas, ku cari dari mana sumbernya.
“Kapia!! Astaga, budek apa ya?”
Aku menoleh menuju tangga sekolah, dan akhirnya aku menemukan suara yang terdengar nyaring tersebut. Aku pun berjalan menuju tangga, karena ada yang sudah melambai-lambaikan tangan dengan tak sabar.
“Eh dasar, pinter sekarang ya. Udah berani menghina orang”, Aku memamerkan wajah kesal padanya. Wajah kesal yang bukan berarti marah tetapi wajah kesal dengan harapan mendapatkan balasan wajah manis darinya.
“Ya ampun, pagi-pagi udah merengut. Jangan ah”. Aku masih diam saja saat Ia masih menceloteh kepadaku.
“Kapia, nih sweater hitamnya. Gimana ka?”.
“Manis kok”.
“AYEY! Tambah senyuman dong Kapia”, goda Oby padaku. Sungguh, Aku tak tahan. Tingkah kekanak-kanakkannya membuatku gemas untuk menarik kedua pipinya.
Ku turuti pintanya, dengan senyum ejekan, “Iya, sweaternya manis. Mama Oby beliinnya dimana? Kapia mau satu dong”.
“Kapia emang jahat, ih”, tiba-tiba Oby melepaskan sweater yang baru saja Ia bangga-banggakan. “Nih, manis kan sweaternya? Kapia boleh bawak aja dulu punya Oby”.
Oby hanya memberikan wajah sumringahnya padaku, sambil menarik tanganku untuk memberikan sweaternya.
“Kapia, Oby mau berangkat Lomba nasional di Serpong. Biar Kapia enggak kangen banget sama Oby, nih Oby pinjemin sweater”.
“Yee, baru aja setengah tahun di SMA udah berlagak nasional segala”, ejekku padanya.
“Apa salahnya Do’ain Oby kek, Kapia”.
Senyum tulusku tiba-tiba terpampang padanya, “Iya, semoga bisa banggain kita semua ya. Percaya amat bakal Kapia kangenin, woo”.
“Pokoknya pegang aja dulu ya, minggu depan kita ketemu disini lagi. Bubay Kapia!”
“Iya Oby, okey. Oleh-oleh jangan lupa ya”, cengirku padanya yang membuat Oby melambaikan tangan. Aku membalasnya dengan pelan.
Singkat pertemuan, tetapi ada aja yang bakal dibahas sama anak satu itu. Oby memang tipikal seorang yang pandai mencari bahan omongan. Walaupun aku belum mengenalnya dengan akrab, tapi aku suka dengan sikapnya yang easy going pada setiap orang.
-------------
2016. Sungguh, resolusi yang ku buat sangat sama dengan tahun lalu. Dengan kata diakhir resolusi “Jomblo tidak membatasimu untuk menggapai cita-cita”. Itu quotes antara memang prinsip atau sekedar untuk membahagiakan diri sendiri. Dan jawabannya , hanya akulah yang tahu.
Waktu sudah menunjukkan waktu sore, dan Aku belum juga kembali ke rumah. Aku masih bersama teman-teman disekolah untuk menyelesaikan persiapan acara. Iya, acara. Sudah pasti aku bakal bersama Dean. Keadaan agak canggung, tapi tiba-tiba terpecah saat ada sebuah pertanyaan.
“Pia, apasih alasan cewek bisa suka sama seorang cowok?”, aku langsung menatapnya keheranan, sambil menopang daguku dengan kedua tangan.
“Eh............ a. apa.. ya?”, wajar saja aku terbatah-batah. Aku bingung dengan sikapnya.
“Kalau kata orang-orang, suka itu enggak ada alasannya sih. Tergantung dari Dean lagi. Itu beneran suka atau cuma penasaran”.
Kelihatannya anak satu ini lagi galau gitu, pantes aja dari siang tadi muka lusuh gitu. Tapi agak enggak lucu sih, dari diem melompong tiba-tiba langsung nyeletuk nanyain soal suka-sukaan. Mungkin dia udah nggak tahan.
Iya, enggak tahan untuk ngomongin ke aku untuk berbagi cerita. Ehe.
Dalam perbincangan kami yang serius itu, tiba-tiba muncul notif bahwa ada yang menelpon. Aku menjawab dengan santai, tanpa ada permisi ke Dean untuk menjawab telepon.
“Assalamualaikum, benar ini saudari Pia Henira?”, omong dari suara telepon dengan pelan.
“Waalaikumsalam, eh apaan sih Glen?”
“Selamat, kamu mendapatkan undangan gratis untuk shalat ashar berjamaah. Dianjurkan membawa seorang teman ke masjid depan sekolah agar terhindar dari kata zina. Saya telah berada di masjid dan sedang menunggu kedatangan anda”.
“Ya ampun, iya-iya bentar”.
Aku menutup telepon dari Glen, karena aku tahu dia pasti sedang menunggu dan aku harus buru-buru ke masjid. Aku bingung harus mengajak siapa, sedangkan sekarang di sekitarku tidak ada teman perempuan. Alhasil, aku mengundangnya juga.Yaaa, siapa lagi kalau bukan Dean.
“Dean, ashar bentar yuk. Di masjid depan, biar cerahan dikit tu muka. Kayak habis di siram minyak jelantah tu. Hehehe”
Dean pun berdiri dari duduknya, kami berangkat berbarengan.
“Buru-buru amat, Pi”.
“Ah enggak kok, biasa aja”.
“Baru dapat jackpot apaan? Seneng banget nampaknya”.
“Hust, kamu kan kepoan. Nanti juga bakal tahu sendiri”.
Sesampai di Masjid, aku mengirim pesan pada Glen bahwa aku telah sampai dan segera mengambil wudhu. Aku menghadiri masjid yang hanya dihadiri beberapa orang saja. Dean pun juga segera ke ruang wudhu.
Terdengar jelas suara yang tak asing di telingaku, suara yang baru saja hadir di dalam otakku. Dilafadzkannya iqomah yang menandakan jamaah untuk menegakkan shalat.
 ---
Waktu shalatku baru saja usai, aku keluar dari masjid dan menuju kursi taman sekitar. Aku melihat seorang lelaki yang keluar dengan kemeja dan celana jeans yang panjangnya tak melebihi mata kaki. Ia berbeda dari yang dulu.
Dean telah selesai berdoa, Ia keluar dan segera ke kursi taman untuk mengenakan sepatunya.
Kami bertiga berpapasan, aku tersenyum. Aku tak tahu harus bahagia atau diam saja, sungguh aku salah tingkah. Glen menyalami Dean dengan ramah. Dan akupun mati kutu kebingungan harus apa. Sudah lama aku tidak berbicara pada Glen secara langsung selain via telepon.
“Oh, Hai Pia!”, sapanya padaku.
“Ini jackpotnya, Pi?”, tanya Dean blak-blakkan.
“Eh iya, temennya Pia ya? Kenalin, Glen. Teman Pia waktu SMP”.
Dean hanya mengangguk lalu membalas dengan senyum dan berkata, “Dean”.
Glen dan Dean menatapku heran seakan butuh banyak kejelasan. Terlihat jelas dari wajah mereka yang sedang bertanya-tanya dan ingin membicarakan banyak hal padaku.
“Pia masih sibuk? Kalau enggak, aku tunggu 15 menit disini ya. Kamu pasti laper kan? Sudah sore gini”.
“Pi, Bantu aku bentar nyusun kata-kata buat MC besok? Terserah sih mau sekarang atau lewat line nanti malam”.
“Hmm”, Aku semakin dihujani rasa bingung. Dan akhirnya aku memutuskan untuk pulang. “Hm Glen, nampaknya di sekolah masih butuh persiapan dan nanti langsung pulang aja. Maaf ya Glen, lain kali aja. Oh iya, ntar malam aja ya Dean susunan katanya”.
Aku dan Dean kembali ke sekolah, aku menatap Glen dengan tak tega. Dan Dean masih jalan terus meninggalkan aku dibelakangnya.
Sesampainya di sekolah, Aku dan Dean masih bungkam tanpa suara.
“Hoy kalian, udah beres nih. Udah boleh pulang, lagian juga udah sore!”, sahut ketua organisasi kepada kami berdua.
Kami berdua pun jalan menuju ruang organisasi, untuk bersiap pulang.
“Pi, pamit ya”, ucap Dean berpamitan padaku.
“Iya, aku juga ya. Hati-hati”.
---
Malam telah tiba, aku mengirimkan semua susunan kata-kata pada Dean. Dan Dean hanya membalas singkat apa adanya.
Ku cek pulsa yang ku punya dan ternyata tidak ada sama sekali, sambil mengantuk aku menunggu telepon. Iya, Glen kemana?. Tumben Dia tidak muncul.
---
Matahari sudah memaparkan sinarnya, dan kulihat gadget. Ternyata, zonk. Batin hanya berkata, “Makanya Pia, jangan berharap. Ya mau digimanain lagi”.
"Prinsip resolusi 2016 jangan dilupain dong Pia. Yok semangat sekolah!", tambah omongku dalam hati.



Senin, 14 Desember 2015

Harus Kuat Prinsip (Sok Prinsip II)

“Dimana? Kangen”
“Yaelah, kangen mulu. Bosen”
“Kapan bapernya sih? Becanda aja terus”
---

Terdengar jelas suara hembusan nafas disampingku. Aku tahu pasti, bahwa ada yang sedang memperhatikanku di detik ini. Dan, sebentar lagi pasti dia bakal kepo-in apa yang sedang aku lakukan.
“Nah nah nah…… Line-an sama siapa lagi?”, bisik Jey di telingaku sambil mengintip gadget. Tebakanku benar bukan? Dia pasti bakal kepo.
“Dasar, bintitan baru tahu rasa”, jawabku judes.
“Bagi-bagi cerita dong”
“Enggak ah, males. Ntar juga tahu sendiri, wohoo”.
“Deket sama doi? Cerita dong cerita. Seru pastii..”
“Mau tahu banget Jey? Yakin?”
Jey memasang muka penasaran akutnya, sambil menatap mataku penuh harap untuk bercerita.
“Hari ini ada aja lagi yang membuatku tersenyum. Siapa yang tak bahagia, jika di pagi harinya dibangunkan untuk menunaikan ibadah setelah itu berbincang mendengarkan suara manis dari telepon”, Aku menceritakannya dengan pelan dan lembut biar tuh anak semakin penasaran.
“Ya ampun, Pia!! Tuh anak alim dari mana yang dirimu temuin? Sumpah, jangan sia-siakan yang ini lah”
“Woles, kali ini aku serius sama doi”, jawabku enteng dan pede kepadanya.
“Terus-terus gimana lagi?”
“Doi juga selalu ramah dan ingatin aku belajar. Enggak maksa untuk selalu ada untuknya”
Muka Jey makin menjadi, aku tak tega memberitahunya..
“Siapa orangnya?”
“Enggak ah, ntar kamu tikung. Temen zaman sekarang mana ada yang baik. Wee”
“Sumpah deh ya Pia, ni percakapan kita udah panjang. Ntar yang ngebaca blogmu bakal bosen”
“Bodo amat lah yaaa.. ntar kalau aku akhiri sampai disini kamu makin kepo siapa si alim ntu. Hakhak”
“Ih centil”, hina Jey karena enggak mau kalah.
“Nih ya, Kali ini aku bakal serius sama doi. Enggak mau ngelepasin Doi dah pokoknya”
“Alhamdulillah, akhirnya Pia menemukan jodohnya…. Langgeng ya”
“Yaeyalah, Pia gitu”, Aku memamerkan muka imutku padanya. “Ya Wajar dong doi selalu ngingetin aku ibadah, ya karena…….”
“Karena kewajiban kita lah, Pia…”, respon Jey dengan kesal.
Aku menunjukkan muka usilku, “Bukan wee.. ya karena itu Papa aku. Hahaha”. Aku langsung menyodorkan jari peace didepan mukanya.
“Sumpah jayus. Kasian kan yang baca ntar. Udah ni percakapan panjang eh kamu malah gini. Siapa yang enggak sakit?”
“Lah, kok baper. Ew banget”.

---
Hari-hariku masih diisi dengan Dean dan Glen, tapi siapa yang sangka kini kedatangan makhluk baru. Tapi kali ini, aku dan Dean tidak sebaik dulu. Jadi apa yang ditanyakan Jey waktu itu, jawabanku adalah tidak dan kembali ke prinsip. Ada yang pergi, maka akan ada yang menghampiri. Ternyata, kali ini Glen membutuhkan teman. Ya dia butuh teman seperti Pia yang enggak punya teman chat. Lantas Pia kegirangan karena dapat teman, apalagi cowok. Pia sudah siap sedia untuk kehilangan Glen alias teman ceritanya.
Cerita makhluk barunya ntar aja, kita ke Glen dulu. Glen orangnya kelewat ramah sama cewek sih, makanya dia putus. Eh, tapi bukan karena aku dia putus sama pacarnya. Wong doi baru muncul waktu dah putus kok. Glen bisa terbilang pria berkulit hitam manis, dengan tingkah konyolnya. Tapi ada saatnya si Glen yang hobi nyerocos ini bakal manis pakai banget.
“Dimana? Kangen”
“Yaelah, kangen mulu. Bosen”
“Kapan bapernya sih? Becanda aja terus”
“Aneh, aku baru nemuin cowok yang nyuruh aku baper”, jawabku polos kepadanya.
Sebenarnya percakapanku padanya jarang ada perkataan manis, kalaupun ada yang manis pasti diselingin sama bercanda. Tapi, apa yang udah aku bahas sama Jey sebenarnya itu cuma modus. Karena sebenarnya itu…
“Tidur gih Pia, besok subuh-annya jangan lupa”
“Okey, met malam”
---
*KRING KRING KRING*
*KRING KRING KRING*
Nada teleponku berbunyi keras disaat matahari belum menampakkan sinarnya. Masih terpampang langit gelap saat ku lihat dari ventilasi. Aku mengambil gadgetku diatas meja belajar dan menjawabnya dengan keadaan masih setengah sadar.
“Halo?”, omongku sambil memberi salam.
Ia membalas dengan pelan salamku, “Melek, ambil wudhu”
“Ya ampun, Glen?”
“Makanya lain kali angkat telepon tuh dilihat dulu siapa..”
Setelah aku menunaikan ibadahku, kami mengobrol kembali via telepon. Bersamaan dengan hal itu, muncul notifikasi bahwa ada yang mengirim pesan via line kepadaku. Aku melihatnya dengan senyum tipis.
Ah, ternyata dia. Bahas batinku.
“Pagi! Semangat ya hari ini sekolahnya. Oby hari ini pakai sweater hitam, sesuai saran Kapia”
Iya, aku dipanggil dengannya dengan sebutan Kapia, biar akrab katanya. Saat itu juga, aku mengheningkan diri dan Glen malah berpamitan untuk bersiap sekolah. Iya, Glen menutup telepon. Dan aku, masih meladeni pesan dari Oby.
“Pokoknya ntar harus ketemu ya Kapia, kangen!”
“Jijay, kangen aja semuanya”, jawabku sembrono padanya.
“Loh, emang siapa aja yang kangen sama Kapia?”
“Eh, enggak ada. Haha”, elakku pada Oby karena aku belum siap untuk kepergian Oby.
“Ntar tunggu di parkiran ya, Oby mau ngomong”.

Jleb, ni anak mau ngapain….. serem ih. Pia, jangan goyah. Ingat prinsip kamu, omong batinku.

Kamis, 19 November 2015

Sok Prinsip

“Kau masih sama seperti yang dulu, masih sibuk meladeni mereka. Ntar mereka pergi, kamu galau juga. Padahal kamu sendiri yang membuat mereka nyaman dan pergi”.
Kata-kata itu bukan untuk pertama kalinya diperingatkan kepadaku oleh para sahabatku, kata-kata itu selalu  mereka berikan padaku disaat aku ditengah rasa sepi. Disaat mereka mengatakan itu, aku hanya membalasnya dengan tawa dan berkata, “Lah, kan semuanya diciptakan buat datang dan pergi. Ya santai aja kali”.
Mereka hanya menggeleng dan bingung harus bagaimana lagi, ketika aku masih memiliki sikap seperti ini.
“Kamu tuh ya, coba selalu fokus ke satu orang”, omong sahabatku yang lain.
“Ya ampun, belum tentu dia fokus ke aku juga kan? Liat aja buktinya yang dulu itu? Sudahlah, woles aja kenapa”.
“Astaga, ya terserah deh. Pokoknya udah aku bilangi. Kapan sih engga ngeyelnya?”
“Pegang prinsip aja dah pokoknya, santai santai. Hidup-hidup aku kok, woo”.
“Astaga Pia, Aku yang tiap hari lihatin perkembangan kamu yang kayak gini terus tuh risih tauk!”.
“Sabar, mbak. Jadi penonton mah emang harus ikutin aja alurnya, pemainnya lagi sibuk cari temen casting lagi nih, hahaha”.
“Dasar Pia, enggak insaf-insafnya”.
Iya, aku biasa dipanggil Pia. Engga perlu lah kan aku kenalin nama panjangku disini? Hehehe. Aku mungkin perempuan yang berbeda, tapi ada saatnya aku akan sama saja dengan perempuan lainnya. Selama menjalani status jomblo yang mulai mau karatan ini, Aku selalu santai aja terhadap cowok. “Masih remaja juga, nanti aja lah. Seru-seruan aja dulu”, salah satu alasan dalam benakku untuk tidak menyibukkan diri mengenal cinta-cintaan. Udah banyak teman cowok datang, udah banyak yang dekat, dan udah banyak yang pergi. Aku masih sama, masih nyantai aja.
***
Pelajaran Fisika memang selalu rumit bagiku, selain harus berhitung tetapi aku juga harus menghapal materi, rumus serta konsepnya. Dan buruknya lagi, pada pertemuan kali ini kelasku kedapatan jadwal guru diklat real teaching. Dan rasanya benar-benar mau keluar kelas dan lari ke real teacher fisika ku, karena real teacher ku benar-benar membuatku paham tentang materinya.
“Kita bentuk kelompok dulu ya anak-anak, membahas materi ini”, Bapak yang kulupakan namanya secepat kilat ini telah memerintahkan kami semua. Tapi tetap saja, siswa-siswinya memasang muka melas dan senyum bengis.
Jeng-jeng, rejekinya aku. Aku satu kelompok dengan cowok yang selalu aku godain dikelas. Rupanya yang manis ditambah hidung mancungnya membuatku gemas untuk selalu menggodanya.
“Gio, ya ampun kita satu kelompok. Jodoh emang nggak kemana ya”, senyumku terpampang lebar untuknya. Godaan itu selalu menampakkan wajah tulus dariku untuk Gio.
Gio hanya tersenyum tipis, tapi aku tak berhenti untuk berbicara dengannya. Gio memang pendiam, maka dari itu menjadi satu orang bahan sasaranku dikelas.
“Eh sini, boleh dicoretkan?”, tingkahku yang jahil langsung menyoret mata kaki Gio dengan tulisan <3 Pia. Gio hanya senyum dan menurut saja sesuai perkataanku.
“Nah, lucu kan io! Jangan dihapus ya”.
Gio tersenyum kembali, kepadaku. Ntah itu tersenyum menahan malu atau pasrah. Aku tidak memperdulikannya.
“Gio, hati-hati aja kamu, ntar kecantol terus nggak dihiraukan dengan dia. Dia jahat orangnya, loh Gio”, aku mengenal suara bisikan itu. Itu pasti si Jey. Jey sahabat yang muncul diawal obrolan cerita ini, emang tipikal perempuan pemerhati banget plus cerewet.
“Apaan sih Jey! Sirik aja enggak bisa dekat-dekat Gio, woo”
Lagi-lagi Gio tersenyum dan kali ini Gio sambil menggeleng.
“Tuh kan, udah Gio enggak usah deket-deket lagi sama Pia pokoknya”.
Terserah deh, Aku enggak peduli. Selama tuh cowok engga ada pacar ya ku jalani aja sebagai teman dekat juga, woles rapopo dong ya. Bahasku dalam batin.
***
Sudah saatnya pulang sekolah, tapi kali ini aku harus pulang telat. Sudah menjadi kebiasaanku untuk pulang telat karena ada urusan organisasi.
Kali ini bersama seorang cowok yang digemari banyak adik kelas. Ya, senang sih punya teman famous tapi ya gitu. Doi malah jadi songong kalau didepan akunya.
Udah 1 jam lebih dan akhirnya pembahasan kami tuntas. Tiba dititik jenuh, Dean memainkan gadgetku. Aku yang berada didepannya seraya mengintip apa yang dia lakukan, dan ternyata dia membuka obrolan pesanku dengan seseorang. Lantas aku kaget, aku yang tidak pernah menguntit privasinya dan tiba-tiba ia mengetahui privasiku. Aku sengaja menutup semua privasiku terhadap rekan kerja. Karena, walaupun bisa dibilang dekat tetap saja dia rekan kerjaku. Aku tidak ingin terjadi hal yang tidak berkenan karena hal pribadi pada kerjaan. Keadaan menjadi berbeda, kami memutuskan untuk pulang karena melihat langit yang mulai gelap untuk menjatuhkan butir-butir air.
“Oh jadi Glen, ya Pia?”
Sontak aku kaget, tahu dari mana Ia?. Aku langsung salah tingkah dan tak tahu harus bagaimana. Untuk pertama kalinya aku membawa perasaan soal cowok.
“Astaga Dean, kamu baca pesannya? Kok gitu banget sih”
Dean jalan terus sambil menaiki sepeda motornya, dan aku mencoba berpapasan dengannya sambil menyakinkan bahwa Dean tidak mengenal Glen, dan aku tidak ada apa-apa dengan Glen.
Alhasil, Dean pulang lebih dulu.
***
Rutinitasku kembali menjadi seorang pelajar. Biasa, ada hal baru yang terusik pasti bakal diceritain langsung dengan chairmate aku yaitu si Jey. Aku pun mulai bercerita soal kejadianku dengan Dean dari awal sampai akhir. Jey memerhatikannya dengan seksama dan dengan polosnya dia berbicara---.
“Tuh kan Pia, ada lagi yang bakal pergi. Kamu sih”
Aku masih enggak mengerti, kelihatannya aku udah mulai buta akan cinta-cintaan deh.
“Gini deh gini--- kalau kamu punya temen, terus temen kamu ternyata sering ngobrol dengan orang lain gimana rasanya?”, tanya Jey dengan pelan terhadapku karena saat itu sedang belajar MTK.
“Ya cemburu lah Jey. Tapi, kan aku enggak punya temen lain selain kamu dan Teya”
“ASTAGA PIA!”, Jey geram dengan sikapku. Dia menarik jilbabku dengan keras dan meninggikan nada bicaranya tapi anehnya tetap dengan volume kecil.
“Apaan sih, jelasin makanya”.
“Nih ya, kamu tuh udah lama temenan sama Dean dan jadi rekan kerja. Dan waktu dia tau kamu punya temen dekat selain dia, pasti Doi bakal ngerasa sedikit cemburu dong”.
“HAAA?---“
“Tapi jangan baper dulu sih”
“Jey, aku enggak mau baper sama dean. Aku jadi enggak keenakan sama Dean soal aku dengan Glen ini. Aku takut dia ngejauh, duhhhhh gimana nih”.
Aku memberikan muka merengutku padanya.
“Jangan-jangan kamu suka Dean?!”, tebak Jey dengan semangat.
“Ih ya kamu Jey! Ya engga lah, aku engga mau suka sama rekan kerja. Balik lagi ke prinsip pokoknya”.
“Kan kamu ngelak terus, kalau kamu nyaman sama dia ya nggak papa. Dan kalau kamu ngerasa takut dia pergi karena si Glen ini, berarti kamu suka Dean!”
“IHHH ENGGAK, pokoknya enggak”, aku langsung menundukkan kepalaku ke meja karena kebingungan.
“Udah buat orang satu nyaman, masih juga ladeni yang lain. Eh si satu pergi, dia galau. Ngapain pula galau, kan kamu sendiri yang buat dia pergi. Rasakan deh, galau kan! Pia, Pia—“.
“Sudah-sudah, habis. Pokoknya balik ke prinsip”.









 --santai, bakal ada sambungannya. tunggu aja pokoknya, ya--